Jangan Berlebihan Saat Berbuka Puasa
Berbuka adalah waktu yang ditunggu orang yang menjalankan ibadah puasa. Sering kali, orang-orang langsung menyantap makanan yang terhidang di meja ketika waktu berbuka tiba.
Nurali, misalnya, lebih sering berbuka dengan makanan besar. Jika berada di jalan, ia kerap berbuka dengan air putih dan gorengan. Ketika di rumah, ia langsung menyantap nasi setiap berbuka.
“Lebih menggoda,” kata ahli teknologi informasi yang berdomisili di Bekasi, Jawa Barat, itu kepada SH, Rabu (24/5).
Sebenarnya, perlu proses untuk berbuka puasa. Menurut Hardinsyah, Ketua Perhimpunan Pakar Gizi dan Pangan Indonesia (Pergizi Pangan), sebaiknya berbuka dengan meminum air putih atau teh hangat, kemudian makanan kecil. Tubuh, terutama lambung, tidak bisa langsung menerima asupan makanan dengan jumlah banyak dan berlebihan. Lambung bisa syok.
Hardinsyah juga mengungkapkan, umumnya orang-orang merayakan kemenangan Ramadan dengan “balas dendam” mengonsumsi makanan “enak” ketika Lebaran. Padahal, kolesterol, gula darah, dan tekanan darah yang sudah turun ketika puasa, bakal naik lagi akibat makan berlebihan. Kue kering dan minuman manis, yang biasa disajikan saat Lebaran, berperan tinggi memicu kembalinya penyakit-penyakit.
“Hendaknya puasa diambil hikmahnya, sehingga bangsa Indonesia dapat selalu sehat. Baiknya sederhana saja, jangan berlebih-lebihan (makan dan minum),” ucap Guru Besar Tetap Ilmu Gizi dari Institut Pertanian Bogor ini.
Tidak Wajib Puasa
Hardinsyah menuturkan, jika ditinjau dari segi kesehatan dan agama, orang yang sedang sakit tidak diwajibkan berpuasa. Mereka membutuhkan asupan gizi yang cukup dan daya tahan tubuhnya sedang menurun.
Ibu hamil juga tidak diwajibkan berpuasa karena dikhawatirkan dapat membahayakan bayi dalam kandungan. Namun, menurut Hardinsyah, sekarang sudah banyak ibu hamil yang berpuasa karena tidak merugikan sama sekali. Penelitian mengenai puasa pada ibu hamil juga marak dilakukan, salah satunya yang dilakukan di Inggris, 15 tahun lalu.
Peneliti menguji ibu hamil yang berpuasa dan tidak berpuasa. Ternyata hasilnya, bayi yang dilahirkan ibu yang berpuasa tidak kekurangan gizi sama sekali. “Ibu hamil bukan orang yang sakit, jadi diperbolehkan berpuasa jika mampu,” ujar doktor nutrisi dan pangan dari University of Queensland, Brisbane, Australia, ini.
Bagaimana dengan anak? Piprim Basarah Yanuarso, Sekretaris Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengatakan, anak juga belum diwajibkan berpuasa, kecuali yang sudah akil baliq atau memasuki puber.
Banyak orang beranggapan anak tidak diwajibkan berpuasa karena masih membutuhkan banyak asupan nutrisi selama masa pertumbuhan. Namun, dokter spesialis anak ini berpendapat, sebenarnya makan sahur dan berbuka dapat mengganti nutrisi yang dibutuhkan selama 24 jam, asalkan kandungan gizi diperhatikan.
“Pada anak, kematangan mental jauh lebih penting daripada biologis. Ada anak yang sudah mampu berpuasa, tetapi tidak disiapkan secara mental oleh orang tuanya. Sebaiknya, jangan paksa anak berpuasa karena dia dapat membenci ibadah,” tutur konsultan jantung anak ini.
Ia menambahkan, orang tua hendaknya melatih anak puasa sejak dini. Itu dapat dicoba dengan puasa sampai tengah hari; kemudian ditingkatkan secara perlahan, hingga anak mampu berpuasa penuh sampai azan magrib.
Orang tua juga harus memperhatikan asupan makanan dan minuman agar anak tidak dehidrasi. “Variasi dalam makanan juga perlu diperhatikan, agar anak tidak merasa bosan untuk sahur dan bersemangat berpuasa setiap harinya,” kata dokter lulusan Universitas Padjadjaran Bandung ini.
Post a Comment